Acara Pameran Budaya (mahrajan ats tsaqapi) di kampus Fakultas Peradaban Universitas Ezzitouna telah berlalu. Kendati hanya berlangsung dua hari dalam suasana sederhana, acara ini menyisakan kesan yang mendalam.
Rabu (26/4) sore, seharusnya seremoial pembukaan dilangsungkan. Akan tetapi, cuaca yang kurang mendukung menyebabkan acara pembukaan ditiadakan. Pukul 18.00, Dekan Fakultas Peradaban, langsung mengunjungi semua stand secara bergiliran. Ia didampingi sekretaris dan beberapa dosen.
Stand Indonesia yang berdampingan dengan stand Senegal dan Mali, telah disiapkan sedemikian rupa. Pakaian adat, batik, serta aneka brosur tentang Indonesia telah disusun rapi. Bahkan, stand kita memiliki kelebihan yang tidak ada di stand lain. Yakni adanya makanan khas yang disuguhkan kepada setiap pengunjung yang datang.
Maka ketika rombongan dekan tiba di stand Indonesia, panitia Indonesia menyambutnya dengan hangat. Dede dan Arwani bergiliran menjelaskan profil Indonesia. Ayat menyiapkan makanan ringan khas Indonesia. Sementara Bapak Abdul Hanan sibuk memotret momen-momen spesial.
Para pejabat kampus itu menyimak pemaparan tentang Indonesia secara serius. Sesekali Dekan mengajukan pertanyaan, terutama tentang potensi budaya dan Islam di Indonesia. Ketika melihat foto Presiden Soekarno bersama Presiden Habib Borgouiba, ia nampak senang. “Hubungan Indonesia dengan Tunisia sejak dulu memang terjalin baik”, tuturnya.
Beberapa macam kue khas Indonesia, buah karya ibu-ibu Dharma Wanita KBRI Tunis dihidangkan sesaat sebelum mereka pergi. Mulanya Pak Dekan hanya mencoba-coba. Lama-lama ia mengakui kelezatan kue itu. Beberapa mahasiswa Tunis yang kebetulan mencicipi kue itu malah minta tambah. Seorang mahasiswa Senegal menanyakan dimana pabrik kue itu. Jika ada di Tunis, ia ingin membeli, katanya. Ah, ada-ada saja…
Tak lama kemudian, ibu-ibu pegawai kampus berdatangan. Mereka nampak tertarik dengan beberapa busana tradisional Indonesia yang digelar di meja. Apalagi ketika mendengar penjelasan bahwa setiap etnis daerah di Indonesia, memiliki bahasa daerah, kesenian dan pakaian adat sendiri-sendiri. Adalah Zahra, seorang gadis pegawai kampus langsung mencoba-coba memakai pakaian pengantin Jawa. Seorang staf kedutaan Rusia yang didampingi para mahasiswanya, juga asyik membuka-buka buku profil wisata Indonesia. Lalu mereka bergiliran bertanya tentang Indonesia. Seorang diantara mereka serius bertanya seputar seni bela diri di Indonesia.
Begitulah, komentar dan kesan para pengunjung tentang Indonesia amat beragam. Tetapi semuanya memiliki kesamaan ; kekaguman atas potensi negeri pertiwi. Potensi luas wilayah, jumlah penduduk yang besar, potensi wisata yang mengagumkan, serta kekayaan tradisi dan budaya yang luar biasa.
Beberapa pengunjung mengaku baru tahu infoemasi yang sebenarnya tentang Indonesia di pameran ini. Sebelumnya, rata-rata mereka menduga bahwa Indonesia itu negeri yang terbelakang dan miskin potensi. “Selama ini saya hanya sering mendengar bahwa Indonesia itu negeri berpenduduk muslim terbesar. Sekarang saya baru tahu bahwa negeri kalian itu memiliki banyak bahasa dan kesenian tradisi”, tutur Ahmad, seorang mahasiswa Tunis.
Dua orang mahasiswa Tunis lainnya terperanjat kaget tatkala tahu betapa luas negeri Indonesia. “Bayangkan, dari sini ke sini saja 1100 km…!”, tutur salah seorang diantara mereka kepada rekannya seraya menunjuk lokasi Pelabuhan Merak di barat pulau Jawa dan lokasi kota Banyuwangi di ujung timurnya. Kawannya berdecak kagum. Apalagi ketika mereka tahu jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa. “Negeri kami hanya 11 juta jiwa”, kata mereka.
Itu kesan-kesan pameran di hari pertama. Hari berikutnya, para tim Indonesia telah bersiap-siap sejak jam 10.00. Juga tim negara lain. Panitia menyiapkan meja peralatan tenis meja dan catur di pelataran lantai dasar. Kegiatan olah raga memang menjadi bagian acara ini.
Ulung dan Rido ikut bermain catur. Bergabung bersama para atlit negara-negara lain. Pertandingan tenis meja pun terus berlangsung. Ikbal dan Hasbi bergiliran tenis melawan para mahasiswa Afrika.
Pukul 11an, Lia, Fadhila dan Fathia tiba di lokasi. Mereka langsung bergabung dengan para tim Indonesia lainnya. Fadhila dan Lia malah sempat ikut bermain tenis meja. Tenis melawan mahasiswa Afrika berkulit hitam, siapa takut?! Mungkin begitu tekad keduanya. Semata-mata untuk menunjukkan kepada dunia, bahwa kaum wanita Indonesia pun mampu berkarya, kapan dan dimanapun berada. Maka penampilan mereka yang penuh percaya diri, lagi-lagi membuat kaget para mahasiswa asing lainnya. Setiap kali poin nilai keduanya bertambah, para supporter Indonesia pun bertepuk tangan meriah.
Pertandingan terus berlangsung, diantara tepukan meriah, derai tawa, decak kagum dan sesekali jepretan kamera. Hingga tak terasa, pada pukul 14an, panitia mengumumkan acara makan siang bersama di pelataran kampus. Meja dan kursi dipasang berderet, hidangan spesial Tunis, kuskus, disajikan bagi para peserta pameran.
Itulah sekelumit kisah dari arena pameran budaya tahunan di Universitas Ezzitouna, Tunis. Momen berharga bagi kita untuk mengenalkan Indonesia kepada orang lain, dalam skala sekecil apapun. Kalau bukan kita, siapa lagi…?!
Rabu (26/4) sore, seharusnya seremoial pembukaan dilangsungkan. Akan tetapi, cuaca yang kurang mendukung menyebabkan acara pembukaan ditiadakan. Pukul 18.00, Dekan Fakultas Peradaban, langsung mengunjungi semua stand secara bergiliran. Ia didampingi sekretaris dan beberapa dosen.
Stand Indonesia yang berdampingan dengan stand Senegal dan Mali, telah disiapkan sedemikian rupa. Pakaian adat, batik, serta aneka brosur tentang Indonesia telah disusun rapi. Bahkan, stand kita memiliki kelebihan yang tidak ada di stand lain. Yakni adanya makanan khas yang disuguhkan kepada setiap pengunjung yang datang.
Maka ketika rombongan dekan tiba di stand Indonesia, panitia Indonesia menyambutnya dengan hangat. Dede dan Arwani bergiliran menjelaskan profil Indonesia. Ayat menyiapkan makanan ringan khas Indonesia. Sementara Bapak Abdul Hanan sibuk memotret momen-momen spesial.
Para pejabat kampus itu menyimak pemaparan tentang Indonesia secara serius. Sesekali Dekan mengajukan pertanyaan, terutama tentang potensi budaya dan Islam di Indonesia. Ketika melihat foto Presiden Soekarno bersama Presiden Habib Borgouiba, ia nampak senang. “Hubungan Indonesia dengan Tunisia sejak dulu memang terjalin baik”, tuturnya.
Beberapa macam kue khas Indonesia, buah karya ibu-ibu Dharma Wanita KBRI Tunis dihidangkan sesaat sebelum mereka pergi. Mulanya Pak Dekan hanya mencoba-coba. Lama-lama ia mengakui kelezatan kue itu. Beberapa mahasiswa Tunis yang kebetulan mencicipi kue itu malah minta tambah. Seorang mahasiswa Senegal menanyakan dimana pabrik kue itu. Jika ada di Tunis, ia ingin membeli, katanya. Ah, ada-ada saja…
Tak lama kemudian, ibu-ibu pegawai kampus berdatangan. Mereka nampak tertarik dengan beberapa busana tradisional Indonesia yang digelar di meja. Apalagi ketika mendengar penjelasan bahwa setiap etnis daerah di Indonesia, memiliki bahasa daerah, kesenian dan pakaian adat sendiri-sendiri. Adalah Zahra, seorang gadis pegawai kampus langsung mencoba-coba memakai pakaian pengantin Jawa. Seorang staf kedutaan Rusia yang didampingi para mahasiswanya, juga asyik membuka-buka buku profil wisata Indonesia. Lalu mereka bergiliran bertanya tentang Indonesia. Seorang diantara mereka serius bertanya seputar seni bela diri di Indonesia.
Begitulah, komentar dan kesan para pengunjung tentang Indonesia amat beragam. Tetapi semuanya memiliki kesamaan ; kekaguman atas potensi negeri pertiwi. Potensi luas wilayah, jumlah penduduk yang besar, potensi wisata yang mengagumkan, serta kekayaan tradisi dan budaya yang luar biasa.
Beberapa pengunjung mengaku baru tahu infoemasi yang sebenarnya tentang Indonesia di pameran ini. Sebelumnya, rata-rata mereka menduga bahwa Indonesia itu negeri yang terbelakang dan miskin potensi. “Selama ini saya hanya sering mendengar bahwa Indonesia itu negeri berpenduduk muslim terbesar. Sekarang saya baru tahu bahwa negeri kalian itu memiliki banyak bahasa dan kesenian tradisi”, tutur Ahmad, seorang mahasiswa Tunis.
Dua orang mahasiswa Tunis lainnya terperanjat kaget tatkala tahu betapa luas negeri Indonesia. “Bayangkan, dari sini ke sini saja 1100 km…!”, tutur salah seorang diantara mereka kepada rekannya seraya menunjuk lokasi Pelabuhan Merak di barat pulau Jawa dan lokasi kota Banyuwangi di ujung timurnya. Kawannya berdecak kagum. Apalagi ketika mereka tahu jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa. “Negeri kami hanya 11 juta jiwa”, kata mereka.
Itu kesan-kesan pameran di hari pertama. Hari berikutnya, para tim Indonesia telah bersiap-siap sejak jam 10.00. Juga tim negara lain. Panitia menyiapkan meja peralatan tenis meja dan catur di pelataran lantai dasar. Kegiatan olah raga memang menjadi bagian acara ini.
Ulung dan Rido ikut bermain catur. Bergabung bersama para atlit negara-negara lain. Pertandingan tenis meja pun terus berlangsung. Ikbal dan Hasbi bergiliran tenis melawan para mahasiswa Afrika.
Pukul 11an, Lia, Fadhila dan Fathia tiba di lokasi. Mereka langsung bergabung dengan para tim Indonesia lainnya. Fadhila dan Lia malah sempat ikut bermain tenis meja. Tenis melawan mahasiswa Afrika berkulit hitam, siapa takut?! Mungkin begitu tekad keduanya. Semata-mata untuk menunjukkan kepada dunia, bahwa kaum wanita Indonesia pun mampu berkarya, kapan dan dimanapun berada. Maka penampilan mereka yang penuh percaya diri, lagi-lagi membuat kaget para mahasiswa asing lainnya. Setiap kali poin nilai keduanya bertambah, para supporter Indonesia pun bertepuk tangan meriah.
Pertandingan terus berlangsung, diantara tepukan meriah, derai tawa, decak kagum dan sesekali jepretan kamera. Hingga tak terasa, pada pukul 14an, panitia mengumumkan acara makan siang bersama di pelataran kampus. Meja dan kursi dipasang berderet, hidangan spesial Tunis, kuskus, disajikan bagi para peserta pameran.
Itulah sekelumit kisah dari arena pameran budaya tahunan di Universitas Ezzitouna, Tunis. Momen berharga bagi kita untuk mengenalkan Indonesia kepada orang lain, dalam skala sekecil apapun. Kalau bukan kita, siapa lagi…?!