Thursday, May 17, 2007

Islam dan Keterbukaan berfikir
Oleh : Aries Abdul Haries Ghifarie


Di tanah Persia, sekitar 9 abad yang lalu cerita tentang pergolakan antara konstitusi Keagamaan yang sah dan cendikia memang telah menggema, bahkan menjadi tinta hitam yang mewarnai sejarah islam. Seorang pemuda itu adalah, Syihabuddin Suhrawardi yang sangat digemari oleh Malik Zhahir, putra Shalahuddin Al Ayyubi. Kecerdasan, kearifan dan keterbukaan pemikirannya membuat dia digemari para pemuda islam yang merindukan hal-hal baru dan segar seputar pemikiran islam. Dia mengajarkan filsafat, kearifan hidup, hikmah-hikmah hidup yang datang dari karya-karya pemikir yunani, india persia serta menganjurkan untuk menyucikan diri lewat tasawuf. Tapi sayang ceritanya hancur dalam tangan para ulama yang tidak menghendakinya, ia dibenci, dianggap meresahkan masyarakat, merusak akidah dan menyesatkan umat. Mereka mendesak Malik Zhahir untuk menangkap pemuda itu, sang pangeran yang sudah berkawan dekat dengan anak muda itu menolak untuk memenjarakannya. Dalam keputusasaan akhirnya para ulama mengadukannya pada Shalahuddin Al Ayyubi dan mendesak untuk menghukum pemuda tersebut. Akhirnya pada tahun 587 dia meninggal dalam usia 39 tahun di dalam penjara. Pemuda itu adalah pendiri aliran Isyraqiyyah (Iluminasionisme) dalam filsafat islam. Dalam usia yang masih muda ia telah berhasil menelurkan puluhan buku. Magnum Opus-nya yang sangat banyak menginspirasi para penerus ajarannya adalah, novel Al Ghurbah Al Gharbiyyah (Keterasingan Barat).

Dalam sejarah masyarakat jawapun, kita mengenal Seorang Cendikia yang harus mengakhiri hidupnya lebih tragis lagi. Di hukum pancung oleh seorang Wali di halaman mesjid sebuah keraton setelah usai shalat. Dengan disaksikan para wali dan pembesar istana. Dia adalah Syekh Siti Jenar yang tak henti-hentinya menjadi legenda bagi masyarakat Jawa. Ajarannya masih terpelihara oleh mereka yang merindukan sosok cendikia, sufi yang sangat progresif dalam memahami islam dan penuh keterbukaan. Dari belahan bumi lainnya, pada zaman kekhalifahan Harun Ar-Rasyid seorang Sufi kenamaan dari Baghdad yang bernama Al-Hallaj, harus berakhir hidupnya dalam tetesan darah pula karena pendirian tasawufnya yang di fatwakan pemuka agama bisa menyesatkan umat.

Boleh jadi Itu hanya beberapa contoh saja dari sekian banyak perjalanan seorang pemikir yang memiliki nasib sama harus mati, ataukah dimatikan oleh satu konstitusi keberagamaan. Entah atas nama siapakah mereka mempercepat ajal seseorang? Agama, kemaslahatan, konstitusi ataukah kepentingan kelompok yang bergantung disana. Padahal dosa yang mereka lakukan hanya sebuah keterbukaan, mencari sebuah pencerahan tentang pemahaman baru dari agama yang dianutnya. Dia mengajak orang untuk melepaskan diri dari sekat-sekat madzhab yang sempit dan mengukung. Menggemakan pemikiran yang bersifat non sekterian.

Islam sangat menjamin satu keterbukaan berfikir. Apalagi dalam mencari hikmah dan pelajaran di muka bumi ini. Nabi bersabda “ Ambillah hikmah, dan jangan kau risaukan dari mana ia keluar” atau dalam satu hadits yang masyhur nabi menyampaikan "carilah ilmu sampai negeri cina". Hadits ini telah menjadi pemicu meningkatnya etos kerja kaum muslimin pada abad pertengahan. Perkembangan pesat yang dicapai kaum muslimin tidak berdiri sendiri. Tapi karena mereka belajar, dan mempelajari pengetahuan dari berbagai pelosok dunia. Persia, yunani, romawi, india dan negara-negara lainnya. Maka ketika kemajuan telah raihnya, berbagai disiplin ilmu telah ditemukan secara fantastis, sesaat mereka menggenggam dunia Bahkan ketika belahan dunia eropa masih mati dan tertinggal. Cordova dan Baghdad telah menjadi pusat pengkajian ilmu pengetahuan. Di cordova, ribuan orang berondong-bondong datang dari berbagai negara, bangsa, dan keyakinan yang berbeda. Memang karena tempat itu bukan diperuntukan untuk kaum muslimin saja, tapi bagi mereka yang haus akan ilmu pengetahuan dan kemajuan.

Tapi itu hanya cerita dahulu saja, hancurnya kemajuan islam sendiri setelah kaum muslimin sendiri terperosok dalam kotak-kotak madzhab yang sempit. Pikiran kritis tidak nampak lagi dan seperti dibungkam, Paham baru yang bermunculan dianggap Bidah. Perbedaan paham dianggap tabu, yang pemahamannya tidak sama dianggap sesat. Surga hanya milik kelompok dia, yang lain tidak akan mendapatkannnya. Sehingga orang islam tidak lagi belajar dari seluruh pelosok dunia dari, mereka bahkan tidak mau belajar dari suadaranya sendiri yang bermadzhab lain. Semakin inklusif, terasing dari peradaban karena mereka tidak mau terbuka pada dunianya, bahkan pada saudaranya. Barulah mereka sadar setelah tertinggal jauh, kesadaran mereka seperti terusik kembali untuk menggapai kegemilangan yang pernah diraihnya. Tapi dunia tidak dalam pihak yang sejalan, kaum eropa yang dahulu datang untuk berguru kini telah menjadi guru untuk mereka.

Kaum muslimin dituntut untuk berfikir terbuka, berfikiran maju dan kedepan. Bukankah itu yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya tentang pemahaman islam yang tidak kaku, elastis dan terbuka pada konteks perubahan zaman. Bagaimana gagasan futuristik yang dikeluarkan oleh Umar Bin Khatab tentang pembukuan Al Quran yang disampaikan kepada Abu Bakar atau ide yang sangat kontroversial untuk ukuran saat itu, untuk membukukan hadits yang dicetuskan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Padahal itu sesuatu di haramkan oleh nabi untuk menukil perkataan-perkataannya dan men Tadwin-kanya. Setra masih banyak ide-ide brilian dari para sahabat yang memperlihatkan keistimewaan islam yang membersihkan unsur budaya dan sejarah.

Pemikiran islam yang inklusif, kalau meminjam istilah Dr. Alwi Shihab bukan hanya mengkhawatirkan terhadap perkembangan mental dan keberlangsungan islam saja. Lebih jauh itu, inklusifisme akan melahirkan otodoksi dan aliran-aliran fundamentalisme baru yang lebih komplit, bahkan dengan gaya ekstrem. Muncul-munculnya stereotif, terorisme yang digandengkan dengan islam memang tidak bisa dibantah, jika menjamurnya pemahaman-pemahaman konvensional didunia islam tidak bisa dibendung.

Dan sekarang, entah ingin menyegarkan lagi pertikaian kaum cendikia dan pemuka agama yang telah berlangsung beberapa abad yang lalu. Dari negeri dengan penduduk muslim terbesar, geliat penyekatan berfikir oleh pemuka agama kembali terdengar. Setelah munculnya fatwa mati oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap aliran liberalisme dan sejenisnya. Dari negeri seribu menara. Seorang ulama terkemuka, dinyatakan kafir karena ajarannya bertolak belakang dan dianggap sesat. Ia dipaksa untuk menceraikan istrinya serta diusir dari negeranya. Pemuka agama menjadi wakil tuhan baru, sampai melampaui pada ruang privasi-Nya. Mereka mempreteli kebebasan berfikir manusia, menyekat, mengharamkan pergerakannya. Biarkan tuhan sendiri yang menentukannya, karena saya yakin ia tidak sepicik manusianya. Dari sisi lain, kaum-kaum yang semakin memperlihatkan aliran-aliran islam ekstrem tidak terhitung jumlahnya bagai jamur dimusim hujan, semakin lantang dan berani bertindak mereka. Tapi keterbukaan berfikir tidak akan pernah lenyap dari manusia yang merindukan hal baru. Ia akan tetap menggema selama sejarah masih bergulir, selama tuhan masih menginjinkannya. Insya Allah

Disampaikan pada Diskusi Bulanan yang diselenggerakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia, 13 Mei 2007